Search

AS-China Lagi, Lagi-lagi AS-China, Kapan Kelarnya?

AS-China Lagi, Lagi-lagi AS-China, Kapan Kelarnya?

Pekan lalu bukan periode yang menyenangkan bagi pasar keuangan Indonesia. Pasar saham, valas, sampai obligasi seluruhnya terkoreksi.

Sepanjang minggu kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,46%. Kala penutupan perdagangan akhir pekan, IHSG berada di posisi terlemah sejak 14 November.

Namun IHSG tidak sendirian, karena berbagai indeks saham utama Asia juga bergerak ke selatan. Bahkan beberapa di antaranya melemah lebih dalam ketimbang IHSG.


Rupiah pun mengalami derita serupa. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air melemah 0,09% secara point-to-point.

Mayoritas mata uang utama Benua Kuning juga melemah terhadap greenback. Bahkan won Korea Selatan terdepresiasi lebih dari 1%.


Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Indonesia seri acuan tenor 10 tahun naik 2,8 basis poin (bps) secara point-to-point. Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual.

Dari sisi eksternal, sentimen penggerak utama di pasar keuangan global pekan lalu adalah dinamika hubungan AS-China. Banyak kabar dan spekulasi berseliweran, dan setiap ada berita terbaru pasti mendapat respons.

Pada awal pekan lalu, sempat ada harapan kedua negara bisa segera mencapai kesepakatan dagang Fase I. Dalam wawancara bersama Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengungkapkan bahwa AS-China sangat mungkin untuk menyepakati perjanjian damai dagang Fase I.


Namun sehari setelahnya justru berita buruk yang datang. CNBC International memberitakan, seperti mengutip seorang pejabat pemerintahan China, Beijing agak pesimistis dengan masa depan kesepakatan tersebut. Pasalnya, China tetap keukeuh ingin memasukkan penghapusan bea masuk menjadi salah satu poin perjanjian damai dagang.

"Mood di Beijing soal kesepakatan dagang agak pesimistis, seorang pejabat pemerintah memberitahu kepada saya. China kurang nyaman setelah Trump (Presiden AS Donald Trump) mengatakan tidak ada penghapusan bea masuk. Sekarang strateginya adalah melanjutkan pembicaraan, tetapi (China) terus menunggu perkembangan kemungkinan pelengseran (Trump) dan Pemilu AS 2020. Juga memprioritaskan dukungan terhadap ekonomi domestik," demikian cuit jurnalis CNBC International Eunice Yoon melalui Twitter.

Ketidakpastian bertambah kala Christian Whiton, Senior Fellow for Strategy and Trade di Center for the National Interest, mengatakan bahwa satu hal yang mengganjal adalah permintaan China untuk menghapus segala bentuk bea masuk yang sudah diterapkan selama perang dagang. Sebagai informasi, AS telah memberlakukan bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 550 miliar selama perang dagang yang berlangsung lebih dari setahun terakhir.

"Kalau pembicaraan berlangsung mulus, maka kenaikan bea masuk lebih lanjut bisa dibatalkan. Namun kalau tidak, maka AS akan kembali mengenakan bea masuk baru dan proses perundingan berlanjut sampai tahun depan," kata Whiton, seperti diberitakan Reuters.

Pada akhir pekan lalu, situasi bertambah rumit kala ada faktor lain yang mempengaruhi kesepakatan tersebut. Hong Kong. House of Representatives dan Senat AS mengesahkan aturan yang meminta penegakan hak asasi manusia di wilayah otonom China itu.

Aturan itu tinggal menunggu tanda tangan Presiden AS Donald Trump untuk segera berlaku efektif. Salah satu poinnya adalah AS bisa mengenakan sanksi bagi aparat pemerintah China yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.


Sikap Washington yang mulai terang-terangan mengintervensi Hong Kong tentu membuat Beijing tidak nyaman. Kementerian Luar Negeri China menegaskan bahwa Hong Kong adalah urusan dalam negeri mereka.

"Kami mendesak AS untuk menghentikan aktivitas ini, hentikan sebelum terlambat. Berhentilah ikut campur dalam urusan Hong Kong dan China. AS harus berhenti melakukan hal-hal yang bisa mengundang balasan dari China," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.

Dari dalam negeri, sempat ada harapan dari hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI). Gubernur Perry Warjiyo dan kolega memutuskan untuk mempertahan suku bunga acuan di angka 5%. Namun Giro Wajib Minimum (GWM) diturunkan 50 bps, berlaku mulai 2 Januari 2020.

Penurunan GWM tersebut diperkirakan mampu menambah likuiditas perbankan sebesar Rp 26 triliun. Likuiditas tersebut diharapkan mampu merangsang perbankan untuk lebih getol menyalurkan kredit.

Maklum, pertumbuhan kredit memang terus melambat. Pada September, penyaluran kredit hanya tumbuh 7,89% year-on-year (YoY) dan sepanjang 2019 diperkirakan cuma 8%.


Apabila penyaluran kredit semakin kencang, maka dampaknya adalah percepatan pertumbuhan ekonomi. Ada harapan pertumbuhan ekonomi 2020, seiring dengan pelonggaran GWM, bisa lebih baik dari 2019 yang oleh BI diperkirakan sebesar 5,1%.

Akan tetapi, sepertinya Perry Warijyo effect ternyata tidak bertahan lama. Pasar keuangan Indonesia akhirnya terhanyut oleh kebimbangan damai dagang AS-China.

Halaman Selanjutnya >>>>




Bagikan Berita Ini

0 Response to "AS-China Lagi, Lagi-lagi AS-China, Kapan Kelarnya?"

Post a Comment

Powered by Blogger.